Sebelum kamera pertama kali merekam, Namtan sudah lebih dulu jatuh.
Bukan karena naskah, bukan karena peran, tapi karena Film Rachanun Mahawan, nama yang terlalu sering ia sebut diam-diam, dan terlalu mudah membuat dadanya bergetar setiap kali muncul di layar kaca.
Ia tak pernah bermimpi akan berdiri di sampingnya, apalagi memerankan sosok yang dicintai Film di sebuah series.
Namun hidup, seperti naskah yang ditulis semesta, kadang menyimpan kejutan yang tak pernah terduga.
Ketika tim produksi mengumumkan bahwa mereka akan menjadi pasangan utama dalam drama romantis baru, Namtan sempat mengira itu hanya candaan. Tapi hari itu benar-benar datang-hari ketika ia harus menatap Film bukan sebagai junior senior, melainkan sebagai lawan main.
Adegan demi adegan berjalan.
Awalnya semua terasa profesional: latihan blocking, diskusi tentang dialog, dan latihan ekspresi di depan kamera. Tapi lama-lama, batas itu memudar. Tawa mereka di balik layar terasa terlalu tulus, tatapan Film terlalu lama bertahan, dan setiap sentuhan kecil di antara mereka meninggalkan gema yang tak bisa hilang begitu saja.
Di tengah hiruk pikuk lokasi syuting, Namtan mulai kehilangan arah. Ia tak tahu lagi mana bagian dari naskah, dan mana yang benar-benar berasal dari hati.
Film selalu tampak tenang, tersenyum hangat seperti biasa membuat semuanya tampak mudah. Tapi di balik profesionalisme itu, apakah ada sedikit saja ruang untuk sesuatu yang nyata? Ataukah semua hanya akting sempurna dari seorang aktris yang telah terbiasa menipu hati penontonnya?
Bagi Namtan, jawabannya semakin kabur.
Yang ia tahu, setiap kali kamera berhenti berputar, perasaannya tidak ikut berhenti.
Dan mungkin... itu masalahnya.