Di balik dinding-dinding sempit sebuah kos-kosan sederhana dekat kampus, tinggal seorang mahasiswa Ekonomi semester enam bernama Guntur. Bukan mahasiswa biasa-ia lebih tertarik membahas makna eksistensi daripada neraca keuangan, lebih fasih bicara tentang Plato dan Kierkegaard daripada makroekonomi. Guntur adalah tipe orang yang bisa mengubah obrolan warung kopi menjadi diskusi metafisika tentang absurditas hidup.
Karena keunikannya, sebagian besar penghuni kos menganggap Guntur aneh, bahkan menjengkelkan. Ia terlalu serius, terlalu filosofis, dan sering kali terkesan tak peduli pada realitas sehari-hari. Namun bagi Biru, anak perempuan pemilik kos yang masih duduk di bangku kelas 3 SMA, Guntur adalah misteri yang memikat.
Sejak pertama kali Guntur membawa koper tuanya masuk ke kamar nomor tujuh, Biru diam-diam menyimpan rasa. Usianya mungkin terpaut jauh, tapi hati tak peduli logika. Di matanya, Guntur bukan sekadar mahasiswa nyentrik-dia adalah dunia yang tak habis dijelajahi.
Biru sering mencari-cari alasan untuk mendekat: mengantarkan teh sore, berpura-pura bertanya tentang tugas sekolah, hingga menyelipkan kutipan filsafat di catatan kecil yang ia sisipkan di sela pintu kamar Guntur. Namun setiap kali ia mencoba menjalin percakapan, Guntur membalas dengan perumpamaan atau pertanyaan balik yang membuat Biru termenung lebih lama dari seharusnya.
Meskipun kerap diabaikan atau ditanggapi dingin, Biru tak pernah menyerah. Baginya, memenangkan perhatian seorang filsuf adalah tantangan yang lebih menggetarkan daripada soal matematika mana pun. Dan tanpa ia sadari, sedikit demi sedikit, Guntur mulai membuka pintu-pintu pikirannya... dan mungkin, hatinya.
Karina terbangun menjadi ibu protagonis dan antagonis sekaligus.
Untungnya, ia terbangun di tubuh wanita muda nan kaya-raya dan sebelum alur novel dimulai, yaitu pada saat protagonis berusia 5 tahun.