Ayla bukan anak yang keras kepala. Ia penurut, pendiam, dan jarang bersuara. Tapi di balik sikap tenangnya, ada luka yang menumpuk dari kata-kata orang yang seharusnya ia sebut keluarga. Suami bibinya-seseorang yang jarang hadir, namun setiap ucapannya menusuk seperti duri dalam dada.
Cerita ini bukan tentang kekerasan fisik. Tapi tentang luka batin yang tak terlihat. Tentang sindiran yang membekas. Tentang anak perempuan yang dikritik karena tinggi badannya, kebiasaannya, atau sekadar diam di rumah.
Melalui serangkaian surat yang tak pernah dikirimkan, Ayla perlahan belajar untuk menyuarakan isi hatinya. Dengan bantuan sepupunya, temannya, dan akhirnya ibunya sendiri, ia bangkit. Ia tidak ingin membalas. Ia hanya ingin dimengerti.
Ini adalah kisah tentang suara yang akhirnya berani terdengar, dan luka yang perlahan memudar karena dipeluk, bukan ditekan.