Bagi sebagian orang, dilahirkan sebagai anak perempuan satu-satunya adalah beban. Tapi bagi Jisya Juanielle Ravensky, itu adalah privilege. Dibesarkan dalam keluarga terpandang, dimanjakan sejak lahir oleh seluruh anggota keluarga dari pihak ayahnya-terutama karena dia adalah satu-satunya cucu perempuan dalam tiga generasi-membuat dunia seolah tak punya batas untuknya
Tapi di balik hidup glamor itu, ayahnya, Juan, tak pernah benar-benar tenang. Jisya kini sudah masuk semester 5 di jurusan bisnis, bukan karena minat, tapi karena diminta sang ayah. Di luar kampus, dia lebih dikenal sebagai anak nongkrong: entah di café mahal, lounge temaram, sampai undangan random ke club. Memang, Jisya belum sejauh itu... tapi garis batasnya sudah buram.
Karena itulah Juan, tanpa sepengetahuan Jisya, mengambil langkah diam-diam. Ia menghubungi Max Arzen, anak dari sahabat masa kecilnya yang kini sama-sama menetap di kota ini. Max adalah mahasiswa semester lima jurusan computer science. Berbeda 180 derajat dari Jisya. Max hidup tenang, disiplin, cenderung cuek, dan tidak suka keramaian. Hidupnya hanya seputar kampus, basket, organisasi, dan... kadang tidur.
Awalnya, Max menolak mentah-mentah saat diminta menjaga Jisya dari jauh.
"Apa aku kelihatan kayak bodyguard? Cewek macam apa sih sampe harus diawasi segala?" katanya waktu itu.