Dua tahun telah berlalu sejak Carletta pergi. Tanpa pesan. Tanpa alasan. Hanya keheningan yang tertinggal, menggantung seperti kabut pagi yang tak kunjung reda.
Bagi Ace, waktu tak benar-benar berjalan, ia hanya menumpuk luka demi luka, seperti ombak yang terus menghantam pantai yang sama. Ia hidup, tapi tak pernah benar-benar hidup kembali.
Sebagai atlet renang andalan sekolah, Ace dikenal dengan kecepatannya di dalam air. Namun, tak ada yang tahu, bahwa kolam renang baginya lebih dari sekadar arena, itu adalah satu-satunya ruang di mana ia bisa tenggelam tanpa harus mati. Di sanalah kenangan Carletta tinggal. Di sanalah senyum gadis itu terakhir ia lihat.
Di mata semua orang, Ace adalah sosok sempurna. Namun, di balik prestasi dan ketenangan, ia adalah jiwa yang karam, bersembunyi di balik dinding yang ia bangun sendiri.
Ia bilang ia membenci Carletta. Namun, bahkan kebencian itu terasa seperti doa, agar gadis itu tetap hidup dalam pikirannya. Ia bilang ia telah melupakan, tapi setiap malam ia masih memandangi foto lama mereka, seolah waktu bisa berhenti jika ia menatap cukup lama.
Hingga suatu hari, hanya karena satu kalimat
"Katanya minggu depan ada anak pindahan..."
Jantung Ace berdegup tak karuan. Tak ada nama, tak ada wajah, tetapi satu harapan lama tiba-tiba menggeliat dari dasar hatinya. Mungkinkah... itu dia?
Ini adalah kisah tentang cinta yang ditinggalkan tanpa pamit, tentang luka yang tak pernah benar-benar sembuh, dan tentang seseorang yang diam-diam... masih menunggu.
Gena Aliona bermimpi tentang kematian seseorang.
Tapi ini bukan mimpi biasa. Ini seperti potongan masa depan yang ditampilkan Tuhan secara paksa di kepalanya.
Dan yang lebih mengerikan-laki-laki yang menyebabkan kematian itu adalah Aslan Verchiel, pria yang selama dua tahun ia kejar tanpa lelah. Pria yang selama ini ia kira suci dan tak bercela.
Kini, Gena ingin lari. Menjauh sebelum semuanya terlambat.
Namun Aslan justru mendekat... terlalu dekat.
Ia tahu. Ia menyadari. Ia bahkan bertanya:
"Mimpimu... siapa yang mati, Gena? Kau... atau aku?"
Aslan tak seperti pria pada umumnya. Ia dingin, manipulatif, dan terlalu tenang untuk seseorang yang sedang dihindari. Tapi ada sesuatu dalam dirinya-dalam tatapan itu yang membuat Gena terjebak. Seolah ia tak bisa keluar dari jaring yang sudah sejak lama dibentuk oleh takdir... atau mungkin oleh keluarga mereka sendiri.
Ia kunci.
Ia ancaman.
Atau mungkin, satu-satunya hal yang bisa menghancurkan atau menyelamatkan Aslan dari sisi tergelap dirinya sendiri.