Danny Alfian Yudhanto jarang bicara. Di antara keramaian kampus, ia lebih memilih memantulkan bola basket di halaman rumah daripada berdebat dalam forum terbuka. Ia menyukai kesendirian, bukan karena nyaman, tapi karena dunia luar terlalu sering melukai.
Mimpinya sebagai atlet basket hancur karena satu nama: Darius. Bukan sekali atau dua kali ia dijatuhkan. Danny disudutkan, dirundung, bahkan nyaris kehilangan nyawanya. Tapi semua itu ia simpan rapat, seolah diam adalah satu-satunya pertahanan yang tersisa.
Lalu hadir Davinna Kamillia. Bukan perempuan yang terluka, bukan pula sosok penuh drama. Ia datang dari keluarga yang hangat, dibesarkan dengan nilai-nilai religius dan kepekaan sosial. Seseorang yang tahu bagaimana bersikap tegas, sekaligus tahu kapan harus diam dan mendengar.
Bagi Danny, Davinna adalah sesuatu yang asing: seseorang yang utuh. Dan justru karena itu, ia ragu. Apakah orang yang rusak pantas dicintai oleh seseorang yang tumbuh tanpa luka?
Ini bukan cerita tentang dua luka yang bertemu. Ini tentang seorang pemuda yang ingin sembuh, dan seorang perempuan yang memilih hadir-bukan untuk menyelamatkan, tapi untuk menemani.
Klara berpura-pura menjadi Klera kembarannya agar bisa bertemu dan hidup bersama sang ibu. Klera meminta Klara menggantikan posisinya agar dirinya bisa berlibur bersama sang selingkuhan.
Selama 100 hari, Klara harus menjalani hidup yang dimiliki Klera, termasuk melayani Daniel, suami Klera. Kepura-puraan itu rupanya menjadi petaka baru di kehidupan Klara. Semua penyamaran itu pun terungkap. Daniel tentu tak tinggal diam. Hal yang tak pernah Klara sangka pun terjadi.