
Mereka bertemu di usia muda, saat dunia masih sederhana dan langit tampak tak pernah habis memberi warna. Pertemuan itu tidak megah, hanya sebuah kebetulan di koridor sekolah yang sunyi. Namun, tatapan pertama mereka sudah seperti janji samar yang tidak pernah diucapkan-bahwa suatu hari nanti, salah satu dari mereka harus pergi. Hari-hari berjalan dalam kebersamaan yang lembut. Mereka duduk berdampingan di perpustakaan, berbagi rahasia di bawah pohon yang sama, dan tertawa di sela kesibukan remaja yang sering kali terasa terlalu cepat berlalu. Ada cinta di antara mereka, meski tidak selalu diungkapkan dengan kata-kata. Cinta itu tumbuh diam-diam, seperti bunga liar yang mekar tanpa pernah diminta. Namun, semakin dalam mereka saling menemukan, semakin jelas pula bayangan perpisahan yang tak terelakkan. Salah satu dari mereka menyimpan luka yang tak pernah benar-benar sembuh-luka yang membuatnya lelah, membuatnya ingin pergi, seakan dunia terlalu berat untuk ditanggung. Yang lain, meski berusaha sekuat tenaga, hanya bisa menggenggam tangan sambil berharap genggaman itu cukup untuk menahan semuanya agar tidak runtuh. Setiap kebersamaan berubah menjadi semacam hitungan mundur. Senyum yang dulu sederhana kini terasa getir, pelukan yang hangat justru dipenuhi ketakutan. Mereka berdua tahu, tapi tak pernah benar-benar mengatakan: waktu mereka semakin sedikit. Hingga akhirnya, tibalah saat itu. Perpisahan bukan hanya soal jarak, melainkan soal kehilangan yang tak bisa dihindari. "Before you go," katanya dengan suara bergetar, "ingatlah bahwa aku pernah menjadi rumahmu, walau sebentar." Yang tertinggal hanyalah kenangan-fragmen kecil yang akan terus menyala, meski perpisahan sudah lama terjadi. Seperti cahaya bintang yang tetap terlihat, bahkan setelah bintangnya padam.All Rights Reserved
1 part