Hidup tidak pernah benar-benar menawarkan pilihan yang adil-terutama bagi generasi yang lahir di tengah kerusakan tatanan lama dan belum sempat membangun yang baru. Ryene, seorang pemuda yang tumbuh di tengah absurditas zaman, memilih untuk bertahan di dunia yang terasa seperti labirin tanpa pintu keluar. Bukan karena dia lemah. Justru karena dia terlalu sadar, terlalu kritis, dan terlalu hidup di dalam kepala sendiri.
Dikelilingi oleh tekanan sosial, tuntutan eksistensi digital, dan harapan keluarga yang menggantung seperti tali jemuran pada malam badai, Ryene berjalan di tepi jurang, mempertanyakan semua hal: Tuhan, cinta, eksistensi, bahkan arti dari bunuh diri itu sendiri. Tapi bukan tentang kematian yang dia cari, melainkan tentang siapa yang memegang tali nyawanya. Siapa yang berhak menentukan kapan seseorang boleh menyerah?
Alur ini menyajikan perjalanan batin yang sunyi namun lantang. Tidak dipenuhi aksi, tapi bergejolak dalam kata-kata. Tidak membawa pedang, tapi menikam dengan logika dan renungan. Ditulis dengan gaya reflektif dan puitis, setiap bab menggugat kenyataan dan menggali luka yang kerap disembunyikan dalam tawa generasi Z.
Bagi yang pernah merasa asing di rumah sendiri, bagi yang pernah ingin menyerah namun tidak tahu caranya, bagi yang merasa waras justru saat dunia gila-ini bukan kisah penyembuhan. Ini kisah bertahan, tanpa jaminan selamat. Hanya kompas berupa pikiran liar dan hati yang terus menolak tunduk.
Sebenarnya hati Lionel itu baik dan suci, tapi cuma waktu bayi.
Dia orangnya penolong, buktinya mau bantuin anak kecil yang dibuang orang tuanya. Bantuin buat bunuh ibunya.
"Lo kenapa?"
"Aku dibuang sama mama, kak.."
"Ck ck ck. Kasihan banget. Ayo bunuh ibu lo, gue bantuin."
Lionel itu ... kejam. Dan bagaimana mungkin anak berandal yang beberapa kali masuk sel ini, malah banyak yang menyayangi?
Deskripsi diubah 14 November 2025