Ketika Puspa meninggalkan Kediri menuju Makassar tanpa pamit yang layak, Wijaya Kusuma mengira hidupnya berakhir. Empat bulan kemudian, ia masih hidup dalam spreadsheet yang rapi dan rutinitas kantor yang membosankan, tapi jiwanya mati rasa seperti angka-angka di layar komputernya.
Hingga suatu malam, ponselnya menolak mengirim pesan penyesalan untuk Puspa. Alih-alih, charger tua yang tidak pernah ia lihat sebelumnya muncul di laci, membangkitkan tiga aplikasi misterius yang mengklaim terhubung dengan Mbah Kartowijoyo. Dari sanalah Wijaya belajar menulis, bukan untuk melupakan Puspa, tapi untuk memahami mengapa ia kehilangannya.
Tulisan pertamanya tentang cinta yang tidak bisa dimasukkan ke dalam rumus Excel menyentuh ribuan pembaca dalam semalam. Septian, rekan kerjanya, mencium aroma uang dan menawarkan kemitraan bisnis. Pak Karto, pemilik warung kopi yang bijaksana, memperingatkan bahaya mengubah luka menjadi komoditas. Di antara keduanya, Wijaya harus memilih, mengeksploitasi rasa sakitnya demi kesuksesan instan, atau menggali lebih dalam kebenaran tentang dirinya sendiri.
Karena dalam setiap kata yang lahir dari kepedihan, tersimpan pilihan antara menjadi penulis yang jujur atau sekadar penghibur yang pandai berpura-pura.
Sebuah novel tentang bagaimana kehilangan cinta mengajarkan kita menemukan suara, dan keberanian untuk tidak menjual jiwa demi validasi.
"Gue mau nikah aja deh. Capek banget! Sama duda beranak juga gak papa asal ganteng sama kaya, siap nikah gue. "
Siapa sangka omongan sembrono gadis Bernama Ayyara Jingga Rahayu itu menjadi kenyataan. Hidupnya berubah dalam sekejap mata karena omongan sembarangannya itu.
Ayo, kita ikuti kısah lika liku hidup gadis yang sudah frustası akan kehidupannya itu sehingga menerima saja pinangan dari duda yang belum tahu asal usulnya.