Sebuah kisah tentang luka tak terlihat, janji dalam diam, dan perjalanan menuju kebebasan-yang tak semua orang pulang darinya.
---
Seorang gadis kecil terkurung dalam rumah yang tak lagi layak disebut pulang. Hari-harinya ia jalani dengan luka bakar di punggung-luka yang tertoreh di batinnya.
Berkali-kali ia mencoba bertahan, sebab masih ada empat tanggung jawab kecil yang harus digenggam di usia mudanya.
Namun, di balik gelapnya hidup, Tuhan masih menyayanginya. Ia mengirim seorang lelaki asing-bukan dengan janji manis, melainkan kekuatan diam. Lelaki itu membuat si gadis kecil kembali menapakkan kaki di tanah. Kembali percaya, bahwa ia tidak sendirian.
---
Kalimatnya membuatku membelalakkan mata. "HAH? SETAHUN?!"
"Shh, Nar. Berisik."
"Kak, Setahun? Beneran? Ih, setahun itu lama banget.. terus aku gak bisa minta tolong ke kakak selama setahun?" tuturku secara bertubi-tubi. Meluapkan segala kekhawatiran yang ada.
"Kan.. baru juga dibilang," katanya, ia menjeda sedikit kalimatnya. "Jangan terlalu mengandalkan gua, Nar. Bentar lagi kelas sepuluh, belajar mandiri. "
Aku mulai mengalihkan pandanganku ke depan. "Masih lama," jawabku pelan.
Aku dapat mendengar helaan nafas kasar darinya. "Tuhkan, gimana mau mandiri. Lu sendiri aja masih menyepelekan waktu."
Aku hanya diam. Sisi diriku bersuara bahwa aku sudah malas mendengar ceramahnya. Namun sisi lainku juga berkata bahwa nasihatnya memang dibutuhkan sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan diriku selama satu tahun ini.
"Standarnya dua tahun. Setahun tuh udah termasuk privilage. Ada juga yang enam bulan, tapi itu cuma buat segelintir orang yang mereka anggap pantas," katanya.
Aku tak menggubris kalimatnya. Hanya mendengarkan dalam diam.
Kak Sean hanya melirikku sekilas-aku yang kini tengah menundukkan kepala, seperti seorang gadis yang kehilangan tujuan hidup.
"Pegang janji gua, Nar. Gua bakal buat dia bayar semua dosa-dosanya di pengadilan."
Aku mengangkat kepalaku cepat. "Janji?"
"Janji."
---