Malam itu Jakarta basah oleh hujan, namun udara dipenuhi aroma melati yang terlalu pekat, seperti parfum yang sengaja disemprotkan untuk menutupi bau lain yang lebih tajam - bau besi yang hanya dikenali oleh mereka yang pernah terlalu dekat dengan kematian.
Di ujung sebuah gang sempit, lampu jalan berkedip-kedip, seolah ragu apakah harus tetap menyala atau padam. Bayangan tinggi seorang pria berbalut mantel hitam bergerak perlahan, seakan menari di antara genangan air. Langkahnya tenang, nyaris tanpa suara, setiap hentakan sepatu seperti memiliki ritme sendiri - ritme yang hanya ia dengar.
Di tangannya, sebatang melati putih, kelopaknya basah oleh hujan, namun tetap segar, seakan bunga itu tidak pernah mengenal layu. Ia berhenti di depan sebuah pintu, menyentuhnya dengan lembut seperti menyentuh kulit seseorang yang dicintai. Tidak ada ketukan. Tidak ada salam. Hanya desahan napas yang hangat di udara dingin.
Di balik pintu itu, seorang wanita terbaring di sofa, mata terpejam. Ia tidak tahu bahwa malam ini, mimpinya akan bercampur dengan rasa dingin logam di kulitnya. Sebuah benang merah halus sudah menunggu di meja - tipis, nyaris tak terlihat, namun kuat.
Ketika jarum jam dinding bergeser ke angka dua belas, pintu berderit pelan. Bayangan itu masuk, melangkah seperti pemilik rumah, setiap gerakannya penuh kesabaran dan... keintiman. Ia duduk di tepi sofa, jemarinya menyentuh pipi wanita itu dengan kelembutan yang tidak semestinya dimiliki oleh seorang pembunuh.
Sebelum pisau itu terangkat, ia berbisik - kata yang tak akan pernah dilupakan oleh siapa pun yang cukup sial untuk mendengarnya. Kata yang menjadi awal dari serangkaian bab penuh darah, misteri, dan bisikan di antara bayangan.
"Bab pertama dimulai di sini."