"Kalau tempatnya sama tapi orangnya kamu, aku nggak akan pernah bosen."
Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi bagi Ruto, Wony adalah seluruh dunia yang membuat setiap detik di sini terasa berharga. Setiap tawa, setiap senyum kecilnya, terasa seperti halaman-halaman novel yang tak ingin ia tamatkan. Ia ingin terus membaca, terus menelusuri kata demi kata, tanpa pernah sampai akhir.
Wony tertawa kecil, namun ada sesuatu dalam senyumnya kali ini yang berbeda-hangat, tapi menyimpan kesedihan yang tak terucap. Saat ia bertanya apakah Ruto mau membaca ulang jika novelnya sudah mau tamat, Ruto menahan napas. Pertanyaan itu menusuk, tepat di tengah dada, di tempat di mana perasaan rindu dan takut kehilangan bertemu.
"Kalau aku bisa, aku bakal baca ulang terus. Berkali-kali. Sampai aku hafal tiap kata."
Itu bukan sekadar janji, tapi doa diam-diam yang hanya bisa ia simpan untuk Wony. Karena ia tahu, tak peduli berapa kali ia membaca ulang, tak peduli berapa lama ia mencoba, waktu dan keadaan mungkin takkan pernah memberinya kesempatan untuk menahan halaman itu tetap terbuka.
Dan di tengah senyum dan tawa yang tampak ringan, ada kesadaran pahit: cinta yang begitu tulus, kadang harus dirasakan dalam kehilangan.
"Gue terpaksa nikah sama lo, demi bayi yang ada di perut lo."
Kata-kata itu jatuh seperti pisau yang menancap tepat di hati Kiana Alisha. Pernikahan yang seharusnya menjadi momen bahagia, kini hanya terasa seperti hukuman. Ia tidak diinginkan. Bukan sebagai istri, bukan sebagai seseorang yang layak dicintai.
Pria di hadapannya, sosok yang dingin dan kasar, menikahinya bukan karena cinta-hanya karena tanggung jawab, Tatapan matanya tajam, seolah berkata bahwa semua ini hanya sementara. Bahwa setelah bayi itu lahir, segalanya akan berakhir semuanya.
Namun, takdir selalu punya cara untuk mempermainkan hati manusia. Dalam kebencian, mungkin terselip perasaan yang tak terduga?