Beberapa cinta tak hancur karena berakhir. Tapi karena dipisahkan oleh sesuatu yang lebih kejam dari perpisahan: takdir.
Ada cinta yang tak pernah sempat tumbuh dengan utuh, karena dunia terlalu terburu-buru merobeknya. Cinta yang tumbuh di medan pertempuran, di antara luka, darah, dan pengorbanan yang tak terhitung jumlahnya. Cinta yang tak sempat berakar, tapi telah menjadi satu-satunya alasan untuk bertahan hidup di tengah kehancuran.
Mereka bukan sepasang kekasih seperti dalam dongeng. Mereka tidak diberi kesempatan untuk merajut kisah seperti pasangan lainnya. Waktu mereka diisi dengan pertempuran dan pelarian, dengan darah dan air mata, dengan rasa takut kehilangan satu sama lain setiap kali membuka mata.
Namun, di balik semua itu, mereka saling menemukan. Tanpa kata cinta pun, mereka tahu bahwa hati mereka telah saling bertaut.
Namun, ketika dunia akhirnya memberi mereka pilihan untuk menyudahi semua luka, untuk keluar dari siklus penderitaan dan perang yang tak berkesudahan, kenyataan justru datang sebagai pukulan paling pahit: hanya satu dari mereka yang bisa tetap hidup.
Dan yang lainnya... harus menghilang.
Takdir terlalu kejam. Dan kesempatan terlalu sempit.
Gadis itu menghilang. Bukan karena dia kalah. Tapi karena dia memilih menyerah... demi orang yang dicintainya. Dia memilih hancur, agar orang yang dicintainya bisa bertahan. Ia memilih menghilang dari dunia ini tanpa meninggalkan jejak, tanpa pamit, tanpa sempat berkata bahwa ia juga mencintai.
Dan yang paling menyakitkan... dia pergi tanpa tahu. Tanpa tahu bahwa dirinya dicintai. Bahwa ada seseorang yang menjadikannya segalanya. Bahwa bagi laki-laki itu, hidup bukanlah tentang kemenangan, bukan tentang akhir dari perang, tapi tentang bisa bersamanya. Menjalani hari-hari biasa dengan sederhana.
Cinta mereka tidak pernah benar-benar usai.
Ia masih hidup, bernapas di dada. Ia masih tertulis dalam setiap mimpi, dalam setiap tarikan napas.
Namun takdir memaksanya menjadi kenangan.