Sita Ayudia Wardana tumbuh di tengah keluarga sederhana yang penuh retakan tak kasat mata. Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, sejak kecil ia sudah terbiasa "mengalah"-mengalah pada kakak lelakinya Saka yang selalu dipuji dan dibanggakan, juga pada adiknya Raka yang selalu dimaklumi meski keras kepala dan pemalas.
Ayahnya pasif, lebih sering bersembunyi di balik koran daripada membela anak-anaknya. Ibunya dominan, keras, dan tak segan melontarkan amarah. Dalam rumah itu, Sita seakan hanya punya satu peran: menjadi kambing hitam. Setiap masalah, sekecil apa pun, seringkali jatuh di pundaknya.
Kini, di usia 25 tahun, Sita bekerja sebagai pegawai honorer di kantor biasa, hidupnya masih menggantung. Ia tinggal bersama orang tua, sementara Saka sudah mapan dengan keluarga kecilnya, dan Raka masih SMA. Hidup terasa seperti lingkaran tak berujung: bangun, bekerja, pulang, lalu kembali disalahkan atas hal-hal yang bahkan bukan ulahnya.
Namun, semakin ia dewasa, semakin besar pula bara di dadanya. Sita mulai menyadari bahwa diam dan mengalah hanya membuatnya tenggelam. Luka masa kecilnya perlahan menuntut balasan. Konflik demi konflik dalam rumah itu membuka matanya pada kebenaran pahit: keluarganya tak akan pernah berubah bila ia terus memilih bungkam.
Lewat pertengkaran, rahasia, dan pilihan-pilihan sulit, Sita dipaksa menentukan siapa dirinya sebenarnya. Apakah ia akan tetap menjadi anak yang selalu disalahkan? Atau akhirnya berani bersuara, meski risikonya adalah meretakkan rumah yang sudah rapuh sejak awal?
Ini adalah kisah tentang keluarga yang tampak biasa, tapi menyimpan badai di balik pintu. Tentang cinta yang tak pernah diungkapkan dengan benar, luka yang diwariskan diam-diam, dan keberanian seorang perempuan muda untuk keluar dari bayang-bayang rumah yang membentuk sekaligus menghancurkannya.