24 parts Ongoing Di awal tahun 2020, dunia mendadak remuk oleh pandemi. Solo dan Jakarta-dua kota yang biasanya riuh oleh lalu-lalang manusia-tiba-tiba membisu, menahan napas di antara deru sirene ambulans dan pengumuman lockdown. Di tengah krisis ini, dua pria yang hampir kehilangan dirinya sendiri justru menemukan kembali jejak masa lalu yang sempat mereka kubur rapat-rapat.
Hening Sandikala, 35 tahun, seorang pelukis melankolis yang baru saja menggelar pameran tunggal di galeri tua Mangkunegaran, Solo, bersiap pulang ke Jakarta. Ia telah lama membiasakan diri hidup di bayang-bayang kanvas, cat minyak, dan keraguan-sendirian, berpindah-pindah kota, ditemani sahabat setia seperti Devi si kurator galeri yang vokal, atau Nyi Samiyem, ibu kos klasik yang terlalu peka membaca isi hatinya.
Di bandara Adi Sumarmo yang lengang, ketika semua orang menunggu hasil swab test, Hening bertemu lagi dengan sepasang mata yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatannya-Tawa Suryanegara, 36 tahun. Dulu Tawa hanyalah pemuda penjaga toko buku kecil di Karet Belakang Jakarta-tempat Hening remaja menukar uang dan puisi diam-diam di balik konter kayu, masa lalu yang tercabut mendadak oleh krisis moneter '98. Kini Tawa adalah pemilik rumah makan ayam kremes yang harus menutup salah satu cabangnya karena pandemi
Dua pria ini tumbuh, terluka, lalu berputar di orbit kehidupan yang berbeda-namun selalu gagal benar-benar saling melupakan. Sekeliling mereka, dunia juga berputar:
Pandemi memaksa semua orang diam, namun justru di situlah kerinduan dan cinta yang tertunda-sejak remaja, sejak toko buku yang sunyi, sejak dunia berubah jadi lebih takut pada diri sendiri-akhirnya diberi ruang untuk bicara. Di antara ruang tunggu bandara, rapat daring, pesan-pesan WhatsApp, dan lorong kota yang makin sepi, Hening dan Tawa akhirnya menatap lagi semua yang sempat tak selesai.