Tahun 2025, Indonesia diguncang keresahan besar. Pajak dinaikkan, harga kebutuhan pokok melambung, sementara para wakil rakyat justru sibuk menaikkan gaji mereka sendiri. Situasi itu menyalakan api kemarahan di dada anak muda: apakah mereka akan terus diam, atau saatnya turun ke jalan?
Sekelompok mahasiswa dengan karakter yang berbeda si orator berapi-api, si pemikir strategis, si penakut yang akhirnya berani, si polos yang justru nekat di barisan depan, si pendokumentasi yang merekam sejarah, dan si penengah yang menjaga persatuan menjadi pusat cerita.
Mereka lalu berjumpa dengan kelompok pemuda lain dari berbagai kampus dan latar belakang: ada yang ahli logistik, ada yang kreatif menggerakkan massa lewat mural dan musik, ada yang menggelorakan semangat lewat lagu perjuangan, hingga generasi termuda yang nekad ikut meski masih berseragam abu-abu.
Ketika ribuan orang memenuhi jalanan Jakarta, sejarah seolah berulang dari kebangkitan 1908, Sumpah Pemuda 1928, gerakan mahasiswa 1966, hingga Reformasi 1998. Namun kali ini, giliran generasi 2025 yang menyalakan api perlawanan.
Di tengah sorakan, bentrokan, dan gas air mata, suara mereka menggema lebih lantang:
"Suara rakyat adalah suara Tuhan."
Sebuah kisah tentang keberanian, persatuan, dan keyakinan bahwa setiap generasi punya perjuangannya sendiri.
Zevanya memang ingin memiliki kakak laki-laki karena dia anak tunggal satu-satunya, gambaran kakak laki-laki yang baik, perhatian dan tampan adalah impiannya.
Lalu, permintaan itu di kabulkan.
Tiga kakak laki-laki sekaligus yang amat berbeda kepribadian.
Kaizar yang datar dan tenang
River yang perhatian dan lembut
Sedangkan Jayden yang cerewet dan ceria.
Ini lebih seperti kedamaian hilang dalam hidupnya.