Sejak kecil, Andira hidup sebagai bayangan di rumahnya sendiri. Ayahnya keras, ibunya dingin, saudara-saudaranya menindas-dan dirinya hanyalah pelampiasan, sosok yang selalu dipersalahkan, seolah kehadirannya adalah kutukan. Ia belajar menelan tangis, hingga hatinya hanya punya dua pilihan: hancur atau mencari pelukan di tempat lain.
Dan ia menemukannya pada alam.
Pada desir hutan yang berbisik, debur lautan yang menenangkan, pada langit yang luas, bulan yang setia, dan bintang yang diam-diam mendengarkan doa-doanya. Di sanalah Andira merasa hidup, meski dunia nyata terus menolak keberadaannya.
Hingga pada suatu hari, semesta seakan menjawab.
Seseorang hadir, melihatnya bukan sebagai beban, tapi sebagai jiwa yang layak dicintai. Dari tatapan itu, Andira mulai percaya bahwa ia bisa memiliki kebahagiaan. Ia berani membayangkan hidup yang lebih dari sekadar bertahan.
Namun, kebahagiaan yang baru tumbuh itu tak pernah dibiarkan mekar.
Dunia, keluarganya, dan luka yang terlalu dalam menyeretnya kembali pada kenyataan: bahwa tidak semua orang diciptakan untuk menemukan rumah dalam manusia.
Dan ketika semua cahaya padam, hanya langit, laut, bulan, dan bintang yang tetap tinggal bersamanya-menjadi rumah terakhir yang abadi.
Laura memiliki hubungan yang buruk dengan Gio, bahkan dia sangat membencinya. Namun, ironisnya, orang tuanya sangat menyukai Gio.
Di sisi lain, Laura memiliki perasaan suka kepada Kiano, tapi orang tuanya tidak menyetujui hubungan tersebut karena Kiano dianggap bandel.
Laura harus menghadapi dilema antara mengikuti keinginan orang tuanya untuk menjalin hubungan dengan Gio, yang dia benci, atau mengikuti perasaannya sendiri untuk bersama Kiano, yang tidak disukai oleh orang tuanya. Apakah Laura akan memilih untuk mengikuti keinginan orang tuanya atau mengikuti perasaannya sendiri?
Apakah dia akan menemukan cinta sejati dengan Gio atau Kiano?