505 Miles Away

Beberapa rumah tidak pernah benar-benar kosong.
Beberapa nama tidak pernah benar-benar hilang.
Dan beberapa jarak... tidak pernah cukup jauh untuk memutus sesuatu yang memang ditulis oleh waktu.

"Dimana kalung yang saya kasih?"

Ia diam. Tak menjawab. Bukan tak bisa... tapi enggan.

"Dimana, Tanaya?"

"Tan?"

Akhirnya ia mendongak. Tapi nafasnya seolah tercekat bersamaan dengan genangan air mata yang berkumpul di pelupuk matanya. "Udah gue kubur bareng anak itu..."

Semesta seakan menahan napasnya.
Karena malam itu, dua kisah yang dulu berjalan sendiri-sendiri,
berpapasan lagi.
Tak sengaja. Tapi terasa seperti ditunggu-tunggu.

Terlalu banyak "even" yang memisahkan mereka.
Terlalu banyak waktu yang berlalu tanpa kabar.
Tapi semesta, seperti biasa, tidak peduli dengan logika.

Kadang, pertemuan bukan tentang waktu yang tepat,
tapi tentang hati yang belum pernah benar-benar pergi.

Dan namanya disebut di ujung malam itu.
Bukan dalam teriakan, bukan dalam air mata.
Hanya bisikan pelan-cukup untuk membuat dunia terasa diam:

"Tan..." suaranya pecah, nyaris tak terdengar. "Itu... anak kita."