Batavia, abad ke-18. Kota benteng Kompeni, tempat segala bangsa bertemu: Belanda, Jawa, Tionghoa, Arab, hingga Melayu. Pasar penuh riuh, lampion menyala di Pecinan, gamelan bergema di kampung-kampung Jawa. Namun di balik harmoni itu, bara mulai tersulut.
Liang, pemuda Tionghoa dari daratan Qing, datang dengan harapan baru, menyusul pamannya-seorang saudagar yang berjaya di pelabuhan. Tetapi rezim baru VOC menebar curiga. Tionghoa dilihat sebagai ancaman; wijkenstelsel dan passenstelsel mengekang gerak, sementara fitnah mengadu domba dengan bumiputra.
Tragedi pun meletus. Ribuan nyawa melayang, kanal-kanal Batavia memerah, dan Liang kehilangan segalanya-termasuk pamannya. Ia melarikan diri ke Lasem, pelabuhan merah yang menjadi rumah persaudaraan Jawa dan Tionghoa. Di sanalah ia bertemu Tumenggung Widyaningrat dan putrinya, Suwandari, yang membukakan jalan baru: menyatukan dua bangsa melawan kekuasaan Belanda.
Dari gang-gang sempit Batavia hingga pantai Lasem yang menyala, bara itu menjelma api-api perlawanan, api persaudaraan, dan api cinta yang tumbuh di tengah gejolak sejarah.
This is a lesson from mi casa class.
We learn and will never stop. We hope you enjoy this way of learning.
Please read for your learning.
Semua materi adalah milik si pemilik. Mi Casa hanya menggunakannya sebagai bahan pembelajaran.