"Gue cuma gak mau lo sial karena deket gue, Nic," lirihnya, seakan lebih bicara pada dirinya sendiri ketimbang ke orang di depannya.
Pintu yang belum Nico tutup rapat itu membuat Langkah Nico terhenti, menyisakan celah cahaya dari lorong kos yang remang. Ia berdiri kaku, jantungnya berdegup lebih keras dari biasanya. Kata-kata itu, meski pelan, jelas, dan cukup untuk membuatnya tercekat.
Keheningan kembali mengambil alih. Adam meremas ujung celananya, berusaha menahan getaran kecil di tangannya. Di matanya ada lelah yang tak bisa disembunyikan, juga takut-takut bahwa kehangatan singkat yang Nico bawa bisa hilang kapan saja, atau lebih buruk, berubah jadi luka baru.
Sejenak Nico hanya diam, menelan semua rasa yang bertumpuk di dadanya. Ada marah, ada sedih, tapi juga ada iba yang tak bisa ia tolak. Tangannya masih menahan daun pintu, ragu apakah harus masuk lagi atau benar-benar pergi.
Sementara di dalam, Adam tetap di kursinya, tak sadar kalau kalimat lirihnya terdengar. Ia menunduk, menutup wajah dengan satu tangan, seolah ingin menghilang dari dunia.