Di sebuah desa kecil di Jakarta, tiga sahabat menghabiskan waktunya tumbuh dan belajar bersama, rasa kasih, sayang dan saling melindungi tumbuh bersamaan dengan mereka.
Namun gejolak riuh-ricuh reformasi mulai merembes ke kehidupan bahagia mereka. Seorang wanita bernama Nawasena. Ia tidak mengangkat batu, tapi ia mengangkat pena dan sesekali ikut berteriak pada aksi di jalanan. Ia menjadi tiang penopang, mengumpulkan kesaksian, menyembuhkan luka, melawan dengan kertas dan pena. Baginya tidak ada yang lebih menakutkan dibanding dengan ketidakadilan.
Nawasena dengan seluruh perjuangannya membuktikan bahwa kekuatan yang paling mematikan merupakan kelembutan yang dibalut semangat, kasih sayang dan pengorbanan.
"Tidak peduli seberapa gelapnya, karna aku harus jadi terang untuk melawannya.