Gadis Senja

Prolog

Senja selalu punya cara aneh untuk berbicara padaku. Langit yang perlahan berubah jingga, burung-burung yang pulang dengan sayap letih, dan bayangan pepohonan yang memanjang di jalan berdebu, semuanya seakan menyimpan rahasia yang hanya bisa kudengar ketika dunia mulai meredup.

Namaku Alya Michael Andura. Sejak kecil, aku terbiasa menunggu senja di tepi jendela rumah. Aku menyukai warnanya yang hangat, tapi sekaligus menyimpan duka. Ada ketenangan di dalamnya, tapi juga ada perasaan kehilangan yang tak pernah bisa kujelaskan dengan kata-kata.

Senja bagiku bukan hanya pergantian waktu, melainkan ruang sunyi di mana ingatan masa lalu selalu datang tanpa permisi. Wajah-wajah yang dulu kukenal seakan menampakkan diri di antara cahaya oranye yang memudar. Tawa yang pernah mengisi hari-hariku kini hanya gema samar, dan janji-janji yang pernah kupegang erat menguap bersama cahaya terakhir matahari.

Aku sering berpikir, mungkin aku sendiri sebenarnya hanyalah bagian dari senja itu, indah sekilas, tapi perlahan lenyap dalam gelap. Ada sesuatu dalam hidupku yang hilang, sesuatu yang tak lagi bisa kugapai, dan rumah kecil yang dulu penuh suara kini hanya menyisakan keheningan.

Namun, di balik semua itu, aku percaya senja juga menyimpan harapan. Meski selalu berakhir dalam kegelapan malam, ia menjanjikan fajar baru di keesokan hari. Mungkin, di sanalah jawabannya. Mungkin, aku harus terus berjalan, meski kakiku terasa berat oleh beban yang tak kasat mata.

Aku bukan siapa-siapa, hanya seorang gadis biasa yang berusaha mencari arti dari kehilangan dan alasan untuk tetap bertahan. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada sesuatu yang belum pernah kuceritakan pada siapa pun. Sebuah rahasia yang menunggu saatnya untuk terungkap.