Ada orang yang pandai memberi nasihat.
Ada orang yang selalu punya jawaban untuk setiap masalah.
Dan ada juga orang yang hanya duduk diam, mendengarkan.
Langit adalah yang terakhir.
Ia bukan tempat mencari solusi. Ia bukan pula orang yang suka ikut campur. Tetapi bagi teman-temannya, Langit selalu jadi ruang aman untuk bercerita. Seperti namanya-Langit-ia luas, tenang, dan tidak pernah menolak apa pun yang singgah.
Namun, ada satu rahasia kecil yang tak banyak orang tahu: setiap keresahan yang ia dengar, tidak pernah benar-benar hilang. Ia menuliskannya menjadi puisi. Bukan untuk membuka aib, bukan untuk mencari perhatian. Hanya sebagai cara Langit menjaga jejak suara-suara yang pernah dititipkan kepadanya.
Dan entah bagaimana, kata-kata itu menemukan rumahnya di mading sekolah-menjadi monolog hujan, jeritan sunyi, atau sekadar bisikan hati yang tak berani diucapkan lantang.
Dari situlah semua cerita bermula.
Cerita tentang Langit-
yang tidak pernah banyak bicara,
tapi selalu mendengarkan.
Aksara, mahasiswa seni semester 2, hidup dengan dua sahabatnya-Langit dan Angkasa. Ia penulis puisi anonim kampus yang dikenal lewat akun rahasia. Suatu hari, ia jatuh cinta pada Indira, mahasiswi Ilmu Politik semester 1 yang ternyata adalah penggemar berat puisi anonimnya. Lucunya, Indira justru sering mengeluh pada Aksara soal "si penulis puisi misterius itu" tanpa tahu bahwa itu Aksara sendiri.
Cerita akan penuh kejadian absurd, manis, dan interaksi lucu. Langit dan Angkasa sering jadi "korban" drama Aksara dan Indira. Tapi di balik semua kekacauan itu, perlahan muncul lapisan perasaan yang serius.