Adelioza Arya Wiratama, pria ekstrovert berusia 24 tahun yang bekerja sebagai manajer di perusahaan keluarganya, akhirnya menikahi perempuan yang ia cintai, Gita Larasati Rahmadani. Gita, seorang guru yang kalem, lembut, dan satu tahun lebih tua darinya, kini resmi menjadi teman hidupnya dalam suka maupun duka.
Pernikahan mereka dimulai dengan penuh tawa dan kehangatan, namun tidak luput dari benturan kecil khas pasangan muda yang baru belajar beradaptasi. Adel yang hangat namun kekanak-kanakan sering membuat Gita sebal, sementara Gita yang bijak dan penyabar kerap menjadi penyeimbang. Dari urusan sepele seperti siapa yang harus mencuci piring, hingga masalah serius tentang pekerjaan, keluarga, dan masa depan, keduanya berusaha menapaki hari-hari dengan cinta yang mereka jaga bersama.
Dalam keseharian yang sederhana-masak bareng, berbagi cerita sepulang kerja, hingga kejutan manis yang tak terduga-Adel dan Gita belajar bahwa pernikahan bukan hanya tentang janji, tetapi juga tentang kompromi, kesabaran, dan keberanian untuk terus mencintai meski dalam keadaan paling rumit sekalipun.
"Rumah kecil kita adalah tempat semua cerita dimulai."
Novel ini menghadirkan potret hangat kehidupan pasutri muda, dengan tawa, air mata, dan cinta yang tumbuh setiap harinya.
Setiap jiwa memiliki suaranya sendiri. Tapi di dunia tempat peluru lebih fasih bicara daripada kata-kata, suara itu sering tenggelam. Terkubur dalam diam. Dalam luka. Dalam senandika.
Zean Al Fathir, pewaris terakhir keluarga mafia yang dihancurkan oleh pengkhianatan, hidup dalam bayang-bayang dendam dan warisan berdarah. Bersama tiga saudaranya dan empat sahabatnya-para pewaris dari keluarga mafia besar yang juga hancur-mereka membentuk kelompok rahasia bernama ARCHON, menyusup ke dunia akademik sebagai mahasiswa biasa demi satu tujuan: mengembalikan tatanan lama dan menjatuhkan para penguasa bayangan yang kini memegang kendali.
Namun di balik gemerlap pesta, strategi bisnis, dan permainan kekuasaan yang mereka mainkan, masing-masing dari mereka menyimpan luka terdalam-rahasia, trauma, dan pergulatan batin yang tak pernah mereka ucapkan pada siapa pun. Itu bukan dialog. Itu bukan bisikan. Itu senandika-suara hati yang hanya mereka sendiri yang tahu, terjebak dalam keheningan yang mematikan.
Ketika cinta, pengkhianatan, dan masa lalu kembali menghantui langkah mereka, Zean harus memilih: apakah dendam layak dipelihara jika yang dikorbankan adalah kemanusiaan mereka sendiri? Atau apakah senandika itu akhirnya akan didengarkan... bahkan jika harus dengan darah?