Rasa adalah anugerah, sekaligus ujian. Ia hidup dalam dada, berdenyut di antara harap dan takut. Kadang membuncah, kadang meredup, sering kali tak terbaca bahkan oleh pemiliknya sendiri.
Aku pernah percaya rasa adalah segalanya. Aku berlari, mencintai, menangis, dan berharap hanya karena rasa. Tapi aku lupa, rasa bisa menyesatkan jika tak diarahkan kepada yang Maha Menata hati.
Di satu senja, ketika langit membiaskan warna jingga yang ganjil, aku merasakan hampa yang tak bisa lagi kusebut luka. Seolah semua kebahagiaan semu yang kupeluk runtuh di bawah beratnya waktu. Saat itulah aku menyadari: sudah waktunya berhijrah, bukan hanya jasad, tetapi juga rasa.
Aku ingin mengembalikan setiap rasa ini kepada pemiliknya yang hakiki. Aku ingin menata ulang cinta, harap, rindu, bahkan kecewa, agar semua berlabuh hanya pada-Nya. Karena sungguh, hati takkan pernah tenang bila terus menggantungkan rasa kepada sesama makhluk.
Inilah perjalanan hijrahku, bukan sekadar berpindah langkah, tetapi berpindah rasa. Meninggalkan cinta yang keliru, menuju cinta yang tak lekang oleh waktu.
Dan semoga di ujung perjalanan ini, hatiku menemukan rumahnya yang sebenar-benarnya:
di bawah naungan ridha-Nya.