Jauh di palung jurang terkutuk, tempat sumpah serapah merangkai batu, tersematlah monumen abadi bagi sebuah akhir. Di dalamnya, bersemayam Dewa Perang yang pernah diagungkan, kini hanya sebatas bisikan nama yang ternoda. Keagungannya direnggut, dibuang karena tuduhan khianat yang tak terbukti, dan diputuskan dengan ringannya sehelai bulu.
Ribuan tahun berlalu dalam kebekuan hening yang melumpuhkan, dia hanyalah ingatan beku di bawah bumi. Hingga sunyi itu terkoyak oleh sentuhan takdir yang tak terduga. Setetes darah hangat yang asing merembes di celah bibir, memanggil jiwa yang tertidur dari pelukan kehampaan. Dia bangkit dan keheranan. Sebab, yang menyambut kebangkitannya bukanlah teriakan perang atau tuntutan hutang, melainkan lantunan puja yang ganjil dari sosok yang tak dikenalnya.
"Mengapa kau biarkan dirimu menyembunyikan cahaya yang seharusnya menerangi semesta? Setiap pahatan di wajahmu, setiap embusan napasmu, adalah anugerah yang harus disaksikan, bukan diselimuti. Aku ingin seluruh jagat raya tahu-bahwa rembulan telah jatuh ke pangkuanku, dan aku, sungguh beruntung menjadi langit yang memberinya tempat bernaung."
Siapakah gerangan sosok ini yang berani mengibaratkannya sebagai rembulan yang terlantar, lalu dengan berani, mengklaim dirinya sebagai langit yang berhak atas singgahnya? Misteri ini jauh lebih membakar daripada dendam di masa lalu.