30 parts Ongoing Saat mahasiswa lain menunduk takut di kelas Elvano, Dhiya justru mengangkat tangan dan bertanya,
"Pak, misalnya kalau seekor kucing jadi presiden karena dipilih lewat voting rakyat yang bosen sama manusia-itu bisa dianggap sah secara konstitusi nggak, Pak?"
Diam.
Elvano berkedip. Dua kali.
Mahasiswa lain nyaris tercekik udara. Nadya-teman sebangku Dhiya-sudah mulai menyusun doa minta perlindungan.
Seorang mahasiswa belakang bahkan pelan-pelan membuka aplikasi pencarian beasiswa ke jurusan tata boga.
Tapi Dhiya tetap tenang. Bahkan sempat mengunyah keripik.
Elvano tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Dhiya. Lama. Seperti sedang menimbang apakah ini jebakan... atau apakah mahasiswi ini betulan makhluk mitologis yang dikirim untuk menguji kesabarannya.
Akhirnya, ia membuka suara.
"Secara teoritis, konstitusi mengatur pemimpin dari kalangan manusia. Tapi... menarik."
Dhiya mengangguk. Serius. "Jadi nggak bisa, ya. Sayang banget. Padahal kayaknya kucing lebih jujur dari beberapa calon."
Sejak itu, kelas berubah.
Debat jadi lebih aneh. Tatapan jadi lebih lama. Dan Elvano mulai ragu-apakah Dhiya cuma cari mati, atau diam-diam bikin hidupnya jadi lebih hidup?
Kisah ini adalah kisah komedi romantis absurd tentang dua otak beda frekuensi, yang terjebak dalam ruang kelas dan mungkin... perasaan.
Karena cinta bisa datang dari mana saja. Bahkan dari pertanyaan yang seharusnya tidak pernah ditanyakan.