Ada hal-hal yang tidak pernah selesai, meski waktu terus berjalan.
Salah satunya adalah penyesalan.
Aku bukan pahlawan dalam cerita ini. Aku tidak datang membawa kemenangan, apalagi akhir bahagia. Aku hanya seseorang yang terlalu lama diam ketika seharusnya berbicara, terlalu takut kehilangan hingga akhirnya benar-benar kehilangan.
Namaku Travis Kajendra.
Dan ini adalah surat-surat yang kutulis untuk seseorang yang pernah membuat dunia terasa sederhana hanya dengan senyumannya-Kaluna Moureen.
Dulu, kami berjalan berdampingan di bawah langit Bandung yang sering mendung, berbagi tawa di antara hujan, dan bermimpi tanpa takut kecewa. Tapi satu kesalahan kecil mengubah segalanya. Sebuah pesan singkat untuk masa lalu, yang tak seharusnya kukirim, menghancurkan sesuatu yang selama ini kupeluk dengan seluruh hati.
Sejak saat itu, setiap kali lampu kuning menyala di perempatan kota, aku berhenti lebih lama dari seharusnya. Karena di bawah cahaya redup itu, aku selalu melihatnya-sosok Kaluna, berdiri di sisi lain jalan, dengan mata yang dulu penuh kepercayaan padaku.
Novel ini bukan kisah tentang siapa yang salah dan siapa yang pergi. Ini tentang seseorang yang belajar memahami bahwa mencintai tidak selalu berarti memiliki, dan bahwa penyesalan sering kali menjadi cara paling sunyi untuk mencintai dari kejauhan.
Surat dari Travis Kajendra adalah kisah tentang cinta yang patah tapi tidak padam, tentang seseorang yang berusaha menebus luka dengan kata, dan tentang keberanian untuk menatap masa lalu tanpa lagi bersembunyi di balik kata "andai".
Karena pada akhirnya, setiap surat yang tak pernah terkirim tetap menyimpan doa-
doa agar orang yang kita cintai, meski tak lagi di sisi kita, tetap bahagia dengan caranya sendiri.