Sejak kematian kedua orang tua, bumi Mahardika (25) berhenti berputar. Bukan karena kehilangan, tetapi karena gravitasi baru yang membebaninya: Mahendra (18), adiknya.
Mahardika-seorang kakak dengan punggung yang tak pernah diciptakan untuk memikul langit-harus segera menjadi tiang, batu nisan, sekaligus matahari di rumah yang mendadak beku. Ia menelan mentah-mentah masa muda yang seharusnya penuh tawa, menggantinya dengan debu jalanan dan upah harian yang tak pernah layak untuk kata 'hidup'.
Janji terakhir pada Ibu, "Aku akan sekolahkan Mahendra sampai sarjana," adalah sehelai kain kafan yang ia jahit sendiri di sepanjang hidupnya.
Demi satu lembar ijazah Mahendra yang bergelar S.E., Mahardika rela menanggalkan segala yang bernama martabat. Ia gadaikan senyumnya pada rentenir, ia jual ketenangan tidurnya pada tumpukan tagihan Pinjol yang kejam, dan ia ubah harga dirinya menjadi ampas kopi di meja-meja bos yang meremehkan. Setiap tetes keringatnya adalah darah yang bocor dari mimpi-mimpinya sendiri.
Mahendra, sang adik, adalah sebongkah harapan yang dipercaya Mahardika memiliki sayap emas. Ia melihat potensi itu, menimbunnya dengan segala yang ia miliki, bahkan ketika ia harus mencabuti satu per satu akar kebahagiaannya.
Lalu, hari itu tiba. Hari wisuda yang diwarnai gemuruh tepuk tangan. Hari di mana kain kafan perjuangan Mahardika akhirnya terlepas.
Namun, di balik jubah toga yang berkibar gagah, Mahendra justru terbang terlalu tinggi. Ia lupa pada akar yang busuk demi menjadikannya mekar. Ia lupa pada punggung yang hancur demi ia berdiri tegak.
Saat Mahardika berdiri di sudut, tubuhnya lunglai menyaksikan adiknya melangkah pergi, ia menyadari satu hal yang paling menyakitkan dari menjadi yatim:
Bukan kehilangan orang tua yang sesakit ini, tetapi kehilangan adik yang telah dihidupkan dengan separuh jiwanya.
"Katanya cinta tak harus memiliki. Omong kosong. Bagi saya mencintai berarti harus memiliki. Sejak pertama saya melihat kamu, sejak saat itu kamu milik saya. Akan saya lakukan segala cara, sekalipun itu membuatmu membenci saya". Abhizar Albirru