Pagi itu, sinar matahari menembus tirai ruang tamu rumah kecil di ujung desa. Di meja makan yang sederhana, aroma nasi goreng buatan Bunda Eza memenuhi ruangan. Suara panci, gelak tawa, dan langkah kaki yang berlarian menjadi musik pagi yang tak pernah gagal membuat rumah itu terasa hidup.
"Najib, cepetan! Telat lagi nanti!" seru Rassel sambil menyambar roti panggang dari tangan ibunya.
Najib, bocah berumur lima belas tahun dengan rambut acak-acakan, berlari-lari kecil sambil masih mengenakan satu kaus kaki. "Iya, Kak! Aku cuma nyari buku gambar aku!"
Ayah Firman hanya tersenyum dari balik koran, matanya hangat melihat kedua anaknya yang selalu ribut setiap pagi. "Kalian berdua tuh kayak kucing sama anjing," katanya sambil terkekeh.
"Yang penting masih sayang-sayangan, kan, Yah?" timpal Bunda Eza, membuat semua tertawa.
Keluarga itu mungkin tidak sempurna. Kadang listrik padam, kadang uang pas-pasan, kadang juga mereka bertengkar karena hal kecil. Tapi setiap malam, ketika semua sudah duduk di ruang tengah - menonton acara lawas di televisi butut sambil berbagi camilan - rasa damai itu kembali menyelimuti mereka.
Bagi Rassel, rumah ini adalah tempat ia belajar menjadi sosok yang kuat. Bagi Najib, rumah ini adalah tempat ia merasa aman, di mana setiap kesalahan bisa dimaafkan dengan pelukan.
Dan bagi Ayah Firman dan Bunda Eza, rumah ini bukan sekadar bangunan - tapi adalah bukti bahwa cinta sederhana bisa menciptakan kebahagiaan yang tak tergantikan.
Di tengah segala kekurangan, mereka tetap saling menggenggam.
Karena keluarga bukan tentang siapa yang paling sempurna,
tapi siapa yang tetap tinggal - meski segalanya terasa berat.
Mereka adalah keluarga Cemara versi mereka sendiri. 🌿
---