"kalau cinta itu luka, gue rela berdarah."
~Mara allea angkasa~
"Lo boleh hancur, Mar... tapi jangan pernah ngerasa sendirian . karena selama gue masih hidup, lo punya tempat buat pulang."
~Arkana Senja sakala~
**********
Suasana perpustakaan sunyi. Hanya suara kipas angin tua yang berderit pelan di sudut ruangan, dan sesekali bunyi lembaran buku dibalik.
Arkana berdiri di antara rak buku, menatap Gilang yang sedang duduk santai di kursi baca. Tatapannya tajam, penuh amarah yang ditahan.
"Lo tadi ngapain kejar-kejaran sama Mara di lapangan?" suaranya pelan, tapi dingin. Terlalu pelan untuk disebut marah, tapi cukup tajam untuk menusuk.
Gilang mengangkat sebelah alis, lalu menutup bukunya perlahan. "Urusan sama lo apa?"
Arkana mengepalkan tangan di balik tubuhnya. "Mara pacar gue, anj*ng."
Gilang menyeringai, lalu berdiri. Tingginya hampir sejajar dengan Arkana, tapi sorot matanya penuh tantangan. "Bukannya pacar lo... Naura?"
**********
Mara berdiri di depan kelas, menunggu Arkana dengan senyum manis. Tapi senyum itu perlahan memudar saat Arkana berkata, "Hari ini lo pulang bareng Gizel aja. Gue mau nganter Naura. Dia lagi sakit."
Mara menatap Naura yang duduk lesu di meja, lalu kembali menatap Arkana. "Ka... lo gak lihat dia itu cuma pura-pura sakit buat caper ke lo?"
"Mara..."
"Lo gak boleh nganter dia. Dia bisa pulang sendiri."
"MARA!" bentak Arkana, suaranya menggema. Semua mata tertuju pada mereka.
Mara menatap Arkana tak percaya. "Gue pacar lo bukan sih?" ucapnya lirih, lalu berlari keluar kelas.
Gizel mendekat, menampar Arkana tanpa kata. "Lebih baik dari awal lo gak ada di kehidupan Mara... kalau cuma jadi sumber luka buat dia."
Naura bangkit, marah. Tapi Gizel menatapnya tajam. "Tadi lo bilang 'Arkana gue'? Hahaha... sejak kapan Arkana punya lo?"