Under The Crumbling Walls Of Xiangyang and The Destruction Of The Qin Dynasty

Bayangkan sebuah kerajaan yang dibangun di atas darah dan ambisi, di mana tembok raksasa menjulang tinggi sebagai simbol kekuasaan tak tertandingi. Inilah Qin, dinasti yang mempersatukan Tiongkok, namun juga menabur benih kehancurannya sendiri.

Setelah Kaisar Pertama yang visioner, datanglah Huhai, sang tiran yang mewarisi tahta tanpa kebijaksanaan. Di bawah pemerintahannya yang kejam, mimpi persatuan berubah menjadi mimpi buruk penindasan. Pajak meroket, kerja paksa tak mengenal ampun, dan hukum besi menindas setiap jiwa.

Takhta Berlumur Darah, Takdir di Ujung Pedang.

Dinasti Qin runtuh, dan Ziying, raja terakhirnya, berdiri di antara bara api pemberontakan dan bayang-bayang masa lalu yang kelam. Mampukah ia menebus dosa dinasti yang kejam, ataukah takdirnya telah tertulis dalam sejarah sebagai simbol tirani?

Di sisi lain, Liu Bang, seorang pemberontak yang haus akan keadilan, mencium aroma kemenangan. Namun, merebut takhta hanyalah awal dari perjuangan. Bisakah ia memimpin dengan bijaksana, ataukah kekuasaan akan merusaknya seperti para pendahulunya?

Saat gerbang Xianyang runtuh, dua takdir bertabrakan. Liu Bang dihadapkan pada pilihan yang akan menentukan masa depan Tiongkok. memaafkan Ziying dan memulai era baru dengan belas kasihan, atau menumpahkan darah terakhir Dinasti Qin dan mengukuhkan kekuasaannya dengan kekerasan.

Sebuah kisah epik tentang pengorbanan, ambisi, dan harga sebuah kekuasaan. Di mana kehormatan bertemu dengan pengkhianatan, dan belas kasihan beradu dengan keadilan. Siapakah yang akan memenangkan hati rakyat, dan siapakah yang akan terkubur dalam sejarah sebagai korban takdir?