Aku tahu jika aku bukan penghuni rumahmu, tidak seharusnya aku di sana bukan? Itu bukan tempatku, tapi aku nyaman tinggal, hatiku aman jika ada di dalamnya. Aku tidak lagi berada di labirin yang bisa menyesatkan.
Salahkah jika menetapkanmu dalam salah satu tujuan pulangku?
Berdosakah jika aku bermimpi terus melangkah menuju jalan di mana kamu di depanku, menggandeng tanganku, tersenyum padaku?
Sepertinya itu hanya khayalan dan angan, karena aku tahu, selamanya kita tidak akan pernah jadi rumah.
Kita berbeda, kita tak lagi sama.
Jika angin bisa bercerita, dia akan mengatakan yang tidak bisa aku sampaikan padamu.
"Kau harus tahu, kalau kau itu indah dan sempurna, Lea. Jangan dengarkan apa kata mereka, aku di sini, di sampingmu, kamu masih punya aku."
Lea memejamkan mata, menghadirkan satu sosok yang pernah mengatakan kalimat penguat untuknya. Tatapannya menerawang, helaian rambut terbang tertiup angin. Di sini, di tempat ini, seseorang pernah berkata untuknya tetap bertahan hidup.
Air matanya luruh, sosok itu tidak akan pernah datang lagi. Tidak bisa dilihatnya lagi, wajah mendongak, menghalau buliran bening agar tidak menjatuhi pipinya yang mulus.
Bibirnya pun bergumam. "Kau sedang apa, Darrel? Aku mengaku kalah. Maaf, aku rindu."