Ada saat di mana manusia berhenti hidup, tapi tubuhnya belum tahu cara untuk mati.
Ia masih bernapas, makan, berjalan, menatap orang lain dengan mata kosong, seolah dunia ini bukanlah tempat untuknya, tapi juga satu-satunya tempat yang tersisa.
Dree tahu perasaan itu terlalu familiar. Ia tidak ingin mati, tapi hidup pun bukan sesuatu yang benar-benar ia pilih.
Seolah ia terjebak di antara dua jurang, satu penuh cahaya yang tak bisa ia percayai, dan satu lagi gelap yang memanggilnya dengan lembut.
Kadang ia berpikir, mungkin hidup memang bukan untuk dimenangkan. Mungkin kehidupan hanyalah kesalahan yang terus dibiarkan berulang, dan manusia terlalu takut untuk menghentikannya.
Segalanya terus bergerak, karena tak seorang pun berani diam. Ia pun begitu.
Hari-harinya mengalir tanpa bentuk. Ia menatap langit-langit kamar kosnya sampai pikirannya membusuk.
Ia makan bukan karena lapar, tapi karena tubuhnya menuntut fungsi.
Ia kadang tertawa, hanya agar orang lain tak bertanya apa-apa.
Di tengah kebusukan itu, Dree menemukan sesuatu yang kecil dan lembut... jejak hangat dari seseorang yang pernah bertahan hidup hanya dengan bubur beras merah.
Dan entah kenapa, dari situlah ia tahu, tubuhnya belum diizinkan mati.
Rasanya, seperti sesuatu yang paling jujur di dunia yang semuanya terasa palsu. Ia tak tahu apakah itu harapan, atau hanya bentuk lain dari rasa takut.
Sejak hari itu, Dree terus hidup.
Bukan karena alasan besar, bukan karena dunia menunggu, melainkan karena di antara semua kekacauan ini, ia ingin tahu mengapa bubur itu bisa terasa seperti alasan untuk bertahan, sebuah misteri kecil yang cukup untuk menahan jurang di dalam dirinya.