Di Kerajaan Blambangan, tatanan kehidupan dikuasai oleh tiga pilar utama: Dharma (Kebenaran dan Kewajiban Moral), Artha (Harta dan Kekuasaan), dan Kama (Hasrat dan Kenikmatan).
Patih Laksmana, lambang tertinggi dari Dharma Keraton, adalah pria yang menjunjung tinggi hukum, tahta, dan kehormatan di atas segalanya. Tugasnya adalah mempertahankan Artha (kekuasaan) Prabu dari ancaman di perbatasan.
Namun, semua berubah ketika ia berhasil menangkap buronan utamanya: Pitaloka. Gadis pemberontak itu, yang seharusnya dihukum mati, justru menjadi perwujudan sempurna dari KAMA - hasrat yang tidak tertahankan, cinta yang terlarang.
Dalam rentetan persinggungan - dari ciuman intim mereka di air terjun hingga tiga sesi penyatuan liar di tepi sungai,
Laksmana akhirnya benar-benar jatuh. Ia mengabaikan Dharma-nya, menodai kehormatan Patihnya, dan memilih menenggelamkan diri dalam hasrat (Kama) sang musuh. Pitaloka memanggilnya 'Kangmas', memberikan pengakuan intim yang menghancurkan sisa-sisa kendali Laksmana.
Laksmana kini telah mempertaruhkan segalanya: Tahta dan Harta Kerajaan ia tukar dengan Wanita yang ia taklukkan.
Namun, di balik mata Pitaloka yang seolah telah takluk dalam pelukannya tersimpan jurang yang dalam. Apakah KAMA ini benar-benar terbalas dengan cinta, ataukah Laksmana baru saja menyerahkan hati dan rahasia Kerajaan Blambangan kepada pengkhianatan yang paling mematikan? Laksmana telah memilih hasrat, kini ia harus hidup dalam keraguan yang membakar: apakah ia akan mendapatkan cinta, atau justru kematian dan kehancuran?
Jatuh cinta pada Galen bagaikan kutukan bagi Ersa. Bahkan tak pernah sekalipun terbayang olehnya menatap wajah itu dengan kekaguman. Galen adalah simbol dari segala hal yang ia benci: disiplin, ketenangan, dan kesempurnaan yang selalu membuatnya merasa kecil.
Namun, hidup memang suka bermain-main dengan cara yang tak terduga. Istilah menjilat ludah sendiri memang benar adanya. Debaran hebat yang menjadi awal dari rasa yang Ersa anggap sebagai kutukan, kini siap ia terima sepenuh hati.