Manuskrip yang tak pernah usai

Ardan lahir dengan anugerah yang tidak pernah diminta: kecerdasan yang menyala terlalu terang.
Sejak remaja, kata-kata menempel di pikirannya seperti debu di kaca; ia menulis bukan karena ingin, melainkan karena jika tidak menulis, pikirannya akan runtuh.
Kejeniusannya membawanya dikenal sebagai novelis paling berbakat di generasinya tetapi juga sebagai pria yang tidak pernah tersenyum dalam foto mana pun.

Dunia mengenal karyanya, tapi tidak mengenalnya.
Ia hidup dalam kesunyian yang panjang, membangun kerajaan kata di atas reruntuhan dirinya sendiri.
Dalam setiap novelnya, ia membunuh sedikit demi sedikit bagian dari jiwanya sampai akhirnya, yang tersisa hanyalah tinta, kertas, dan suara-suara yang tak lagi bisa ia bedakan dari pikirannya sendiri.

Setiap bab dalam kisah ini mengikuti Ardan dari masa mudanya yang dingin, masa ketenarannya yang hampa, hingga kematiannya yang sepi di sebuah kamar tanpa jendela.
Dari seorang anak yang ingin dimengerti, menjadi penulis yang menulis karena dunia terlalu kejam untuk dihadapi tanpa metafora.

Dan di sepanjang hidupnya, satu lagu terus berputar di kepalanya:
"Let Down" oleh Radiohead sebuah doa patah bagi orang yang belajar terlalu lambat bahwa keindahan tidak selalu membawa kebahagiaan.