Ketika kita tidak pernah merencanakan untuk sampai pada titik ini-titik di mana dua orang yang dulunya saling menyapa, kini berjalan melewati satu sama lain seperti orang asing.
Padahal dulu, setiap langkah kita selalu saling menyertakan candaan dan tawa yang indah, setiap kata selalu menemukan tempat pulangnya.
Namun pelan-pelan, tanpa ada pertengkaran besar atau alasan yang bisa dijelaskan dengan mudah, jarak itu muncul. Bukan jarak yang tiba-tiba, tapi jarak yang tumbuh seperti retakan kecil: tidak terlihat, tapi akhirnya meruntuhkan segalanya.
Kita tetap saling peduli, tapi dengan cara yang aneh-cara yang tidak lagi membiarkan kita untuk tetap dekat.
Kini, setiap tatapan itu terasa ragu, setiap percakapan terdengar seperti sedang berusaha untuk menghidupkan sesuatu yang sudah lama kehilangan denyutnya. Kita berusaha bersikap biasa, padahal tidak ada yang benar-benar baik-baik saja.
Dan mungkin, inilah yang paling menyakitkan: kita tidak saling membenci, tapi kita hanya tidak tahu lagi bagaimana harus saling mendekati.
Kita terjebak antara ingin kembali dan tidak tahu apakah masih pantas untuk pulang.
Pada akhirnya, cerita ini bukan tentang hilangnya perasaan, tetapi tentang dua hati yang memilih diam karena takut menyakiti, takut berharap, dan takut mengulangi luka yang sama.
Tentang jarak yang kita ciptakan, rindu yang kita kubur pelan-pelan, dan keberanian yang entah kenapa tidak pernah kembali.
Inilah "kita, seasing itu?"
Karina terbangun menjadi ibu protagonis dan antagonis sekaligus.
Untungnya, ia terbangun di tubuh wanita muda nan kaya-raya dan sebelum alur novel dimulai, yaitu pada saat protagonis berusia 5 tahun.