Ada nama yang tak pernah benar-benar pergi, meski dunia memaksanya hilang.
Namanya Langit-seseorang yang dulu hanya kulihat di sela-sela pagi pesantren, lewat tatapan yang tak pernah sempat kuceritakan ke siapa-siapa. Ia hadir seperti angin yang pelan: menyentuh sebentar, lalu lenyap sebelum sempat kupegang.
Waktu itu aku terlalu bungkam, terlalu takut bicara, terlalu canggung untuk sekadar menatap balik. Ia terlalu berani untuk memperhatikan, namun terlalu baik untuk menggangguku.
Dan di antara jarak yang sengaja ia jaga, ada janji kecil yang tak sempat kami tepati:
foto wisuda, sekali saja... bersama.
Janji sederhana.
Yang ternyata menjadi alasan kenapa hari itu terasa paling sunyi.
Karena Langit tak pernah datang.
Dan aku tak pernah tahu... bahwa ia tak akan pernah datang lagi.
Tahun-tahun berlalu, tapi namanya masih mengendap di dadaku seperti hujan yang tak mau reda. Kadang samar, kadang deras. Terkadang hanya bayangan-namun bayangan yang terlalu nyata untuk disebut kenangan.
Aku sering bertanya-tanya, apakah perasaan yang terhenti di tengah jalan masih pantas disebut perjalanan?
Atau jangan-jangan, ada sesuatu yang memang ditakdirkan hanya untuk dikenang...
bukan untuk disatukan.
Ini kisahku.
Kisah tentang seseorang yang datang tanpa suara, dan pergi tanpa sempat kutahan.
Seseorang yang menatapku lebih dulu, jatuh hati lebih dulu,
namun pergi...
terlalu cepat.
Namanya Langit.
Dan sejak hari itu, aku mengerti satu hal:
Tidak semua kehilangan terdengar.
Beberapa hanya terasa.
Meninggal dunia hanya karena terpeleset di kamar mandi? Dengan kondisi tubuh yang sebenarnya tidak terdapat luka sama sekali? Yang benar saja?!
Namun, itulah faktanya. Seorang gadis di paksa menerima takdirnya harus mengalami kejadian transmigrasi setelah mengumpati sebuah novel yang tengah booming. Novel yang menurutnya sangat gila!
Niat hati ingin mendinginkan kepalanya dengan mandi. Ia justru malah terpeleset dan pantatnya mencium lantai dengan kondisi terduduk.
Siapa sangka, ketika dia membuka mata. Ia di kejutkan dengan terkurung di dalam sebuah kamar yang sangat gelap? Seorang diri, dan hanya ditemani oleh ingatan yang berlangsung sangat singkat dan blur?!
"Gue benci lu!" pekik Sheane dengan suara lantang. Bukan merasa tersinggung, pemuda itu justru malah tersenyum lebar. "Iya, aku juga sangat amat mencintaimu sekali, Love."
Kalau sudah begini, bagaimana cara dia lepas dari obsesi gila sang Protagonis ini?!