Seni di Balik Luka

Ikhzam selalu percaya bahwa kesunyian adalah tempat paling aman untuk bersembunyi. Di dalam studio kecil yang selalu berbau cat minyak dan terpaan cahaya kuning redup, ia menghabiskan hari-harinya di depan kanvas kosong-mencoba menutup suara luka yang sudah terlalu lama ia simpan.

Melukis bukan lagi sekadar hobi baginya. Itu adalah cara bertahan hidup.
Setiap garis yang ia tarik, setiap warna yang ia campur, adalah cara lain untuk tetap waras. Cara untuk memastikan dirinya tidak runtuh.

Ia tidak pernah memberi ruang untuk cinta. Bukan karena ia tidak percaya pada perasaan itu, tetapi karena ia terlalu terbiasa dengan kehilangan.
Ia pikir, hidup akan selalu sama: sunyi, tenang, dan tanpa siapa-siapa.

Sampai hari itu.

Seorang gadis lewat begitu saja, tanpa sengaja menyentuh duniannya.
Hanya sepersekian detik tatapan yang bertemu cukup untuk membuat waktu berhenti, cukup untuk mengguncang sesuatu yang sudah lama ia kunci rapat-rapat.
Ada sesuatu di mata gadis itu, sesuatu yang tidak bisa ia pahami-campuran badai dan cahaya, luka dan keberanian.

Dan untuk pertama kalinya, Ikhzam merasa takut. Takut pada perasaan yang baru tumbuh.
Takut pada kemungkinan kehilangan sesuatu yang belum pernah ia miliki.

Ia tidak mengenal namanya. Tidak tahu siapa dia. Namun ia tahu satu hal dengan pasti:

Pertemuan itu akan mengubah segalanya.
Dan tidak ada yang siap menghadapi apa yang akan datang setelahnya.