Tembang Suryengkara 1953.

"Hati yang lemah tak pantas memimpin bangsa, dan hati yang tak berani mencinta tak pantas bahagia."

Begitulah keyakinan yang Iskandar tanam dalam benaknya-sebuah pusaka sunyi yang hanya ia ulang dalam hati. Ada lima perkara yang menjadi tiang hidupnya: keluarga yang membentuk budi, Islam yang menuntun akal, politik yang mengasah nalar, buku-buku yang memelihara jiwa, dan akhirnya-Serra Latima, perempuan yang hadir sebagai simpul paling lembut sekaligus paling rumit dalam hidupnya.

Ada kalanya langkah Serra Latima terasa seperti denyut kecil yang selalu ia rasakan, betapapun jauhnya ia mencoba berpaling. Di tengah hiruk-pikuk ideologi yang saling mengoyak tanah air-sosialis yang lantang, komunis yang menggema, dan suara-suara agamis yang menyusup dari balik mimbar-Iskandar justru menemukan satu-satunya keteduhan pada sosok itu. Namun keteduhan, bagi Iskandar, bukan alasan untuk lengah.

Maka diam-diam ia menandai. Ia menahan diri. Ia memastikan, segala ruang yang menyangkut nama Serra Latima tidak terlepas begitu saja dari genggamannya-bukan dengan kekerasan, melainkan dengan kehati-hatian seorang lelaki yang tahu bahwa dunia sedang kehilangan arah, dan bahwa orang-orang yang tak dijaga akan mudah hilang oleh zaman.

Bagi Iskandar, Serra bukan sekadar perempuan; ia adalah kompas moral yang harus dijaga dari angin zaman yang kian liar. Dan dalam hati Iskandar yang teratur namun penuh badai, cinta bukanlah kata manis-melainkan tekad yang senyap namun keras kepala.

© roopj 2025
Sebuah novel romantis berlatar sejarah dan politik di Indonesia 1953.
17+