Kata-kata papa menggantung di udara, berat, dingin, seolah menegaskan bahwa dunia ini tak pernah adil padaku.
"Kamu ini anak nggak tahu diri, Lyora!" bentaknya, membuat dadaku sesak.
Aku menunduk, menahan napas, menahan hampir semua amarah dan air mata. "Aku... cuma mencoba bertahan, Pa," lirihku.
Rumah, kata-kata, bahkan dunia, seolah bersatu menekanku. Luka lama dari keluargaku, kehilangan yang bukan kuperbuat, semuanya menumpuk tanpa ampun.
Lalu dia datang-Arkan. Dulu aku pikir kehadirannya bisa jadi cahaya di tengah gelap, penghibur di antara luka yang tak kunjung sembuh. Tapi senja terakhir itu, senyum tipisnya hanya sesaat sebelum ia berkata, "Ly... kita udahan aja."
Aku berdiri di bawah langit yang memerah, menyaksikan bayangannya menjauh. Dunia mungkin tak adil. Luka lama tetap ada. Dan rasa yang belum bisa kuhilangkan... seperti senja yang tak pernah usai, selalu menetap, walau dia sudah jauh.