Ku yakini sekali lagi, 1997 adalah tahun yang paling sakit untuk diriku yang masih berstatus sebagai lelaki pengangguran yang mengharapkan jodoh turun dari arah yang tak terduga.
Siapa yang menyangka, bahwa mencari pekerjaan di hiruk pikuk ekonomi yang sedang sulit bisa membawaku bertemu dengan gadis manis elok rupawan yang sedang berdagang di pasar? Itu sebuah keberuntungan, namun itu semua tak bertahan lama.
Namanya Rengganis Mayangda, orang-orang biasa memanggilnya mbak Mayang karena dia adalah seorang pedagang sayuran juga kopi di kios orangtuanya di pasar yang setiap hari selalu ramai didatangi oleh ibu-ibu yang memang ingin berbelanja atau para lelaki yang hanya ingin menggodanya. Dan aku, merupakan salah satu dari lelaki itu. Sementara aku, Alingga Kusumo, lelaki dramatis yang selalu membangga-banggakan uang yang diperoleh dari hasil jerih payahku sendiri, tanpa peduli dan tak mengenal apa itu percintaan yang abadi.
Mayang terkenal sebagai gadis cuek dan tak terlalu peduli dengan percintaan. Semakin lama aku mengenalnya, aku semakin berani untuk mencintainya, dan hubungan kita berdua, lebih dari sekadar teman.
Lama-kelamaan, aku juga mulai sadar, bahwa berani mengenal hidupnya, maka aku juga berani mengambil nyawanya. Bingung, takut, khawatir, tercampur jadi satu, rasanya aku ingin mati saja saat itu. Sampai ketika semesta membuat aku melupakannya, dia kembali ada, membekas dalam kenangan yang menolak pudar selamanya.