Pertemuan mereka dimulai dari ketidaksengajaan-Renjun yang berdiri terlalu dekat ring, dan Jeno yang baru selesai ronde, napasnya berat, keringat menetes dari garis rahang ke tulang selangka.
Awalnya hanya tatapan singkat.
Hanya sepersekian detik.
Tapi Jeno berhenti.
Benar-benar berhenti.
Dan itu cukup untuk membuat suasana di ruangan berubah, seolah semua suara pukulan di sekitar mereka memudar pelan-pelan.
Renjun menatap balik, ragu untuk berkedip.
Ada sesuatu di mata Jeno-campuran fokus, rasa ingin tahu, dan panas yang terasa seperti sengaja dilempar ke arah lawan.
Lalu Jeno menggeser sarung tangannya, menarik napas panjang... sengaja membiarkan dadanya naik turun lebih lambat dari seharusnya. Gerakannya sederhana, tapi tatapan mereka tetap terkunci, tidak ada yang mundur duluan.
Selangkah.
Hanya selangkah.
Jeno mendekat ke tepi ring, seakan ingin memastikan apakah yang dilihatnya benar.
Renjun tidak bergerak-tidak sanggup.
Ada magnet liar di antara mereka, yang bahkan udara pun tampak enggan menghalangi.
Tatapan itu intens, berat, dan terlalu panas untuk orang asing.
Dan saat Jeno mengusap pelipisnya dengan punggung sarung tangan-gerakan kecil yang entah kenapa terlihat jauh lebih menggoda dari yang seharusnya-pikiran yang tidak seharusnya muncul tiba-tiba menghantam Renjun dari belakang:
Damn... my man.
Tidak diucapkan, hanya terasa.
Tapi kekuatan kalimat itu nyaris mampu menggeser bumi dari porosnya.
Jeno tersenyum sedikit.
Bukan senyum ramah-senyum yang tahu persis efeknya.
Seolah mengatakan: kau terlihat terlalu tertarik.
Renjun menelan ludah terlalu cepat.
Jarak mereka tetap tidak bersentuhan, tapi atmosfer di antara mereka sudah seperti kontak langsung yang tidak mereka sadari.
Dan dari tatapan itu saja, sudah jelas:
Malam itu baru mulai, dan intensitas mereka tidak akan turun begitu saja.