“Jangan lupain aku ya. Walaupun kita udah nggak satu sekolah lagi nantinya” kata Alvin berusaha menghibur gadis kecil yang disayanginya itu. “Aku juga takut, takut nggak bisa ketemu kamu lagi” lalu Alvin melepas peluknya. Dia menyeka air mata dipipi sahabatnya itu dengan penuh ketulusan. “Jangan nangis lagi ya. Aku mohon. Kita tetap sahabat, kan?” Alvin menunjukkan kelingkingnya. Oik tersenyum kecil, sambil sesegukan Oik lalu mengaitkan kelingkingnya pada kelingking Alvin, “Sahabat” katanya getir. Entahlah ada perasaan lain disana, perasaan yang lebih. Lebih dari sekadar sahabat. Lebih dari sekadar mengaitkan jari kelingking. Tapi Oik sendiri tidak mengerti itu perasaan apa. Ketakutan itu tetap saja bersarang dihatinya. Dia takut. Amat takut. Takut kehilangan Alvin, lebih dari yang Alvin tau. Iya Alvin tidak tau bahwa Oik ketakutan lebih dari itu. Alvin tidak akan tau, karena Oik telah menyusupkan perasaan itu jauh kedalam hati kecilnya. Sehingga Alvin pun tidak bisa membacanya. Oik tidak bisa membayangkan, dia tidak akan bisa melihat wajah sahabatnya itu lagi. Mungkin tidak juga, jika Tuhan mengizinkan mereka bertemu kembali. Tapi bagaimana jika Tuhan berkehendak lain? Ahh.. adakah hal yang lebih menyakitkan daripada perpisahan? Dan yang terpenting yang paling ditakutinya kini adalah… Ketika tidak pernah bertemu Alvin tidak lagi mengingatnya sebagai sahabat. Ohh, sungguh Tuhan. Oik meratap dalam-dalam.