Saat itu, kuingat diriku masih berumur lima tahun. KPF-Koalisi Pasca Flare-. Organisasi itu menyebarkan virus mematikan, bak tak puas karena bencana ledakan sinar matahari beberapa waktu lalu. Flare. Virus itu ganas. Bibit dari virus itu ditembakkan oleh orang - orang tak berotak dari sebuah berg. Kegaduhan terjadi di seisi desa, berlarian, berteriak, bersembunyi, tertembak. Dan, Mati. Aku menyaksikan orang - orang yang kusayangi mati satu - persatu. Mengutuk sendiri diriku karena tak ikut mati bersama mereka meskipun anak panah sudah menancap dilenganku. Aku menangis, bergelimang air mata. Kemudian beberapa dari warga desa yang selamat perlahan - lahan tertular virus itu. Namun kekuatannya semakin melemah. Mereka tidak langsung mati. Mereka yang terinfeksi merasakan sakit yang luar biasa. Semakin lama semakin parah. Terkadang mereka menjerit, menangis bahkan bernyanyi. Aku diasingkan. Dianggap anak iblis hanya karena aku tak merasakan rasa sakit yang mereka rasakan. Otak mereka sudah tak waras, pikirku. Mereka menghabiskan sisa hidupnya dalam sebuah kegilaan. Warga desa yang belum merasa dirinya terinfeksi meninggalkan diriku di desa kacau ini sendirian. Orang - orang di desa ini seolah berubah menjadi manusia setengah zombie, rupanya tak karuan. Aku melihat beberapa diantara mereka perlahan - lahan mati tersiksa. Bunuh diri, maupun membiarkan virus itu perlahan menggerogoti otak mereka. Aku melihat itu semua dengan mata kecilku. Menangis merutuki kenapa aku tidak mati walau aku tak pernah melepaskan panah ini dari lenganku. Aku duduk sembarangan lalu memeluk lutut. Kenapa hanya aku saja yang kebal?