Sudah pernah nonton orang tawuran? Sudah dong ya. Di TV. Atau mungkin di dunia nyata.
Tapi, kamu pernah nggak nonton bencong tawuran? Nggak pernah, kan? Hihihihi. Tapi, ini bukan soal tawuran bencong, ya. Aku pernah sih ikut tawuran bencong. Kami nggak saling pukul dan lempar batu kok. Tapi kami adu mulut ala-ala Taylor Swift sama Katy Perry di Twitter. Kalau ketemu paling lempar tabung Mascara kami yang sudah habis, lempar kuas blush on yang sudah rusak, lempar pelentik bulu mata, sumpal mulutnya pakek dildo. Gitu-gitu, deh!
Aku di sini nggak mau nyeritain soal tawuran bencong kok. Aku mau nyeritain kisah hidup aku. Anggap aja ini kayak diari. Kalau Marshanda aja boleh nulis diari, kenapa aku nggak, lay? Makanya, aku mau kalian baca kisah hidup aku. Tenang aja, aku nggak jablay kok kayak Titi Kamal. Aku botty binal baik-baik.
Sebelas dua belas lah hati aku sama Mother Theresa. Cuma, aku nggak pakek tudung kepala. Kalaupun pakek aku paling pakek kondom, soalnya lebih ketat dan bisa menyembunyikan rambut dengan baik. Ya, ampun, ew banget deh!
Intinya... ini kisah hidup aku. Aku gay, botty, agak banci, dan suka banget sama punggung-punggung cowok kekar. Sayangnya, yang punya punggung-punggung itu cowok straight. Bentar, aku lap air mata dulu mirip Taylor Swift pas dikhianati Katy Perry.
Gay memang selalu jatuh cinta sama cowok straight, ya? Kenapa sih begitu? Kisah aku ini paling juga mirip kalian. Ini teriakkan histeris isi hati aku. Selamat membaca. Dan selamat jadi agak banci sama aku. Yuk, kita binal-binal bareng!
***
Hallo, ini cerita saya yang entah ke berapa. Karena Zedd udah mau tamat, dan juga Ngaco udah saya buat Completed, saya mau post cerita baru. Maaf seribu maaf, cerita Terrible Things udah saya masukkin ke draft. Itu lanjutnya kapan-kapan aja. Saya mau bertapa dulu.
Ini cerita ringan. Tapi, mungkin bakal sepanjang Horrible Life. Saya harap kalian tertawa bersama Jerry. Dan menghina peliknya kisah cinta gay busuknya itu. Yay!
Happy reading.
Kecewa? entahlah.
Rasa sakit yang sudah muncul sejak beberapa tahun lalu, membuatku tak lagi merasakannya. Sehingga aku menganggap rasa sakit sebagai bagian tak terpisahkan dari hidupku.
Dia benar, Patah hati seperti cermin yang pecah. Lebih baik membiarkannya rusak daripada melukai diri sendiri untuk memperbaikinya.