Bipolar disorder sebenarnya sudah dikenal dan diperhatikan oleh banyak negara maju di dunia. Tiga sampai Lima orang dari setiap seratus orang dewasa didunia dipastikan mengidap bipolar disorder. Rasio penderita antara laki-laki dan perempuan sama rata. Gangguan kejiwaan ini mulai terlihat pada masa remaja atau lebih dini dan terus berkembang seumur hidup. Dokter sering salah mendiagnosis penyakit ini dengan gangguan jiwa berat/psikosis/skizofrenia karena manifestasi penampakan klinis atau gejalanya yang sering kali mirip. Inilah yang menyebabkan penanganannya menjadi terhambat dan menyebabkan persentase bunuh diri pada penderita lumayan tinggi, yaitu 0,4% per tahun atau 20 kali lebih tinggi dari populasi umum, juga dua sampai tiga kali lebih tinggi dari penderita jiwa berat/psikosis/skizofrenia. Di Indonesia bipolar disorder kurang dikenal, padahal tahun 2013 sebanyak 15 Juta penduduk Indonesia termasuk kedalam gangguan jiwa ini. Pada umumnya, masyarakat Indonesia merasa enggan dan malu pergi ke psikiater untuk mengonsultasikan kondisinya. Mereka pun enggan bercerita kepada keluarga dekatnya karena asumsi yang salah bahwa mereka pasti akan dianggap gila oleh orang lain. Banyak kasus justru penderita ditelantarkan atau dikucilkan lingkungannya karena dianggap 'aneh' atau 'gila'. Masyarakat sering hanya melihat sisi penampilan atau lahiriahnya dan menganggap penderita berbohong. Sementara itu, penderita justru merasakan sakit yang luar biasa. Cerita ini mencoba menjelaskan tentang kehidupan seorang gay yang mengalami gangguan kejiwaan bipolar disorder atau dari sudut pandang kacamata penderitanya. Orang yang paling memahami gangguan kejiwaan yang sebenarnya adalah penderitanya sendiri. Mereka yang tidak mengalami sering kali tidak bisa memahami, apalagi berempati pada apa yang dirasakan si penderita. Dengan cerita ini diharapkan kita lebih bersikap responsif dan tidak berstigma negatif terhadap penderita gangguan kejiwaan.All Rights Reserved