Dia tidak terlahir seperti yang diinginkan, rupanya buruk pula.
Dia tak pernah merasa dimanja seperti kakak-kakaknya yang lain...
Apa salahnya?
Bukankah mereka sama saja, terlahir sebagai perempuan. Lantas mengapa hanya dia yang harus berperan sebagai laki-laki??? Tak apa, tak ada air mata bagi Si Bulan, dia akan ikhlas menjalaninya. Demi Emak dan Bapak, pikirnya.
Si Bulan bukan bunga yang ranum saat remaja, dia hanya gadis yang sedikit berubah dari Afrika menuju Asia tenggara.
Wajahnya tak manis, tapi dia tersenyum dari hati.
Si Bulan kadang jadi juara, tapi itu belum cukup bagi Emaknua. Hanya Bapak, ya hanya Bapak yang kadang menunjukan senyum bangganya saat penerimaan Raport. Si Bulan tak putus asa, bila tak bisa membuat Emak bangga, cukup jangan membuatnya malu batinnya.
Kini apa yang Si Bulan jalani hanya untuk menebus rasa malu itu. Rasa malu yang teramat sangat di torehkan Purnama dan kakak2nya yang lain.
Si Bulan, hanya Si Bulan yang selalu melihat air mata emak, Hanya Si Bulan yang mampu menerka sakit di Batin Bapak.
Tatapan keduanya menghakimi Si Bulan bukan kakak2 nya, "ini tanggung jawabmu nak, jangan buat malu kami lagi. Tegakkan kepala kami lagi" begitulah Si Bulan menilai tatapan itu.
Bagi Si Bulan membuat Emaknya menangis sama dengan menghunuskan pisau keulu hatinya. Mentakiti hati Bapaknya sama dengan menyatakan perang padamya.