11 parti In corso Ia berdiri sedikit terpisah dari kerumunan, nyaris tak mencolok. Seorang laki-laki, tak jauh lebih tua dari Kanaya, dengan kamera tergantung di leher dan tangan yang bergerak cekatan menyesuaikan fokus lensa. Gerakannya halus, penuh perhitungan, dan entah bagaimana terasa seperti sesuatu yang sangat familiar bagi semesta.
Lalu, tatapan mereka bertemu.
Hanya sedetik, atau bahkan kurang, mata mereka bertemu di tengah riuhnya pidato dan langkah kaki siswa baru. Mata itu gelap, dalam, penuh ketenangan yang anehnya justru mengguncang. Tidak ada senyum basa-basi atau gestur canggung seperti orang yang tertangkap sedang diperhatikan. Ia hanya menatap. Singkat, lalu kembali ke kameranya seolah dunia Kanaya tak pernah bersinggungan dengan dunianya.
Namun, dunia Kanaya berubah.
Jantungnya berdetak tak beraturan, seolah iramanya tak lagi patuh pada hukum yang biasa. Ia menarik napas perlahan, mencoba menstabilkan diri, tapi dadanya terasa seperti sedang memeluk sesuatu yang baru dan belum ia pahami bentuknya.
Tidak mungkin.
Tidak mungkin ia merasakan ini.
Kanaya Ayudya tidak percaya pada cinta pada pandangan pertama. Tidak pernah. Baginya, perasaan bukan sesuatu yang muncul dalam satu kedipan mata. Cinta adalah proses. Adalah pengenalan, pemahaman, percakapan panjang, tawa yang tumbuh, dan momen-momen yang tidak selalu manis. Ia selalu percaya bahwa hati bekerja dengan waktu, bukan kejutan.
Tapi pagi itu, seluruh definisinya retak. Bukan hancur, tapi berubah. Bergeser.
Karena pagi itu, di bawah langit yang masih muda, di antara suara pidato kepala sekolah dan deru angin yang menyapu dedaunan, di antara ratusan siswa yang berdiri dengan seragam putih abu-abu yang masih bersih tanpa noda...
Ia telah jatuh cinta.
Tanpa aba-aba. Tanpa alasan. Tanpa rencana.
Dan pada saat itu, ia sedang memulai kisah yang belum ia duga akan menjadi penting.