"seandainya, kamu bertahan sebentar saja dan lebih bersabar sedikit lagi. Mungkin kisah kita tak akan seperti ini. " kata Re. "semua telah berlalu, Rey. Untuk apa kau ungkapkan kata seandainya bila sekarang pun kau tak bisa mengubah seandainya menjadi kenyataan. Daun yang telah jatuh tak bisa kembali ke ranting. Semua telah terjadi. Biarkan aku dengan hidupku dan, aku harap kamu tak lagi mengusik kehidupanku. Jalani saja apa yang ada di depan matamu." Kata Sinar. " bukankah kamu sudah tau bagaimana masa laluku? Mengapa kau tak bisa pertahankan itu semua demi aku?" "sabar tak segampang yang kau ucapkan, Re." "tapi, bukankah itu janjimu dulu? Janji setia kita untuk bersama dengan bersabar?" "maaf, Re. Sekali lagi aku katakan sabar tak segampang kata sabar yan kamu ucapkan. Aku mohon kamu mengerti.", Sinar pergi meninggalkan Re. Ia berjalan keluar dai cafee dan berjalan tanpa arah. ia hanya ingin menenangkan dan menjaga agar emosinya tak membludak meski air matanya telah menetes dengan deras. Ia masih saja berjalan hingga menemukan taman yang cukup sepi. Hanya ada beberapa anak yang sedang bermain ayunan dan papan luncur. Ya, mereka tentu bermain dengan riang seperti hidup tak ada masalah. Ia duduk di sebuah bangku yang disampingnya terdapat pohon yang rindang dan ia menyandarkan punggungnya sambil mengusap air mata yang sedari tadi telah mengalir. "Sinar! Kau bodoh!" Decaknya. Ia mendongak ke atas langit dan menatap lama awan di sore itu. Tuhan, engkau tau pintaku tak banyak kepadaMu. Hanya tiga saja bukan? bahagiakan kelurgaku, bahagiakan orang-orang disekitarku dan bahagiakan aku. Itu saja. Apa ini rencanamu?